wanacala.blogspot.com
wnc

Selasa, 08 Januari 2008

KONFLIK LAHAN MASYARAKAT
PERIGI DAN RAMBAI OGAN KOMERING ILIR
SUMATERA SELATAN

Oleh :
Sadat Anwar.
Staff Walhi Sumatera Selatan


Gambaran kasus masyarakat beberapa desa; desa Rambai, desa Perigi Talang Nangka, Kecamatan Pangkalan Lampam dan desa Jeremun, desa Secondong Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI – Sumatera Selatan

Latar Belakang Persoalan
Perusahaan perkebunan sawit PT. PSM, memulai usahanya pada bulan Oktober tahun 2005, dengan berdasarkan SK Bupati OKI No. 460/1503/BPN/26-07/2005; tentang Pemberian Izin Lokasi Untuk Perkebunan Kelapa Sawit, A.N. PT. Persada Sawit Mas, seluas 45.000 hektar, di 4 Kecamatan (Pampangan, Pangkalan Lampam, Tulung Selapan, dan Air Sugihan).
Aktifitas perusahaan telah dilakukan sejak Bulan Oktober tahun 2005, yang dimulai dari desa Secondong, dan desa Jeremun. Hingga saat ini PT. PSM secara terus menerus melakukan pengerjaan usahanya berupa pembibitan, penanaman dan pembuatan fasilitas pendukung lainnya. Hal tersebut tentunya dapat dibenarkan jika mereferensi kepada terbitnya SK Bupati di atas. Namun, jika dihubungkan dengan beberapa clausul/dictum yang tercantum di dalam SK Bupati tersebut, banyak hal yang dilanggar oleh PT. PSM.

Sebagai gambaran, beberapa hal telah disebutkan di dalam izin lokasi PT. PSM diantaranya: (1)Perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan melalui jual beli dihadapan PPAT atau Akte Pelepasan Hak dihadapan Camat setempat atau dengan pernyataan penyerahan/pelepasan Hak Atas Tanah yang dibuat dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Komering Ilir, dengan pemberian ganti rugi yang bentuk dan besarnya ditentukan secara musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan dalam pelaksanaanya dapat dibantu oleh Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembebasan Tanah untuk Keperluan Swasta Kabupaten Ogan Komering Ilir; (2)Pemberian ganti kerugian tanah serta tanam tumbuh dan atau bangunan yang ada diatasnya ataupun barang-barang lain milik pemegang Hak Atas Tanah tidak dibenarkan melalui perantara dalam bentuk dan nama apapun juga melainkan harus dilakukan langsung kepada yang berhak; (3)Sebelum melakukan pembebasan tanah agar PT. Persada Sawit Mas terlebih dahulu melaksanakan pengukuran, merincikan, inventarisasi pemilikan dan penguasaan tanah, pengukuran keliling, batas kebun inti dan plasma yang dapat dibantu oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Ogan Komering Ilir, Instansi terkait, Camat, dan Kepala Desa setempat; (4)Pembukaan tanah baru boleh dilakukan setelah hak/usaha serta tanam tumbuh dan atau bangunan penduduk yang terdapat di atas areal izin lokasi seperti tersebut dalam Diktum KEDUA telah selesai dibebaskan sesuai Peraturan Perundangan yang berlaku, sedangkan terhadap tanah usaha serta tanam tumbuh dan atau bangunan penduduk yang tidak bersedia dibebaskan harus ditinggalkan (enclave).

Pelanggaran yang secara jelas dilakukan oleh PT. PSM adalah, lahan masyarakat yang tidak bersedia ditanami perkebunan kelapa sawit yang berdasarkan dictum di atas seharusnya dapat dienclave, ternyata diabaikan oleh PT. PSM. Pemberian ganti kerugian tanahpun tidak diberikan oleh PT. PSM, apalagi terhadap tanam tumbuh dan atau bangunan yang ada di atas lahan masyarakat. Pola yang terjadi, dengan secara sefihak PT. PSM menguasai lahan-lahan masyarakat. PT. PSM juga tidak pernah memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai tata batas/proyeksi lahan yang akan digunakan sebagai perkebunan inti dan plasma, berikut menginventarisir secara jelas peserta program kemitraan/plasma yang dimaksud.
Kenyataan inilah pada tingkatan lebih lanjut, banyak memunculkan protes masyarakat di berbagai desa. Sayangnya, protes masyarakat tersebut dihadapi secara berlebihan oleh perusahaan. Padahal keinginan masyarakat yang hanya menginginkan lahannya dienclave, sangatlah sesuai dengan aturan-aturan hukum pertanahan dan kebijakan yang tertera di dalam SK Bupati OKI, tentang pemberian izin lokasi bagi PT. PSM.
Dalam penanganan terhadap konflik yang terjadi, PT. PSM justru telah memunculkan peta konflik dikomunitas, melalui memperlebar persinggungan antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap rencana perusahaan. Hal inilah yang kiranya cukup menyedihkan, dimana sistem social masyarakat yang telah terbangun secara harmonis sejak begitu lamanya, harus terbelah akibat perbedaan persepsi dan kepentingan. Persatuan warga telah diporak-porandakan oleh PT. PSM.
Dalam persoalan ini, Pemerintah Kabupaten OKI seharusnya dapat mengintervensi, dengan segera menyelesaikan persoalan secara arif, agar keresahan di tingkat masyarakat tidak semakin meluas. Tetapi nampaknya tidaklah demikian, Pemkab OKI nampaknya hanya menargetkan pada kepentingan investasi semata. Pertengkaran antar warga yang telah sampai merenggut nyawa, tidaklah dianggap sebagai persoalan pokok yang wajib untuk diselesaikan.
Konflik kepentingan yang diciptakan PT. PSM, dihiasi pula dengan melibatkan secara aktif pam-swakarsa (kelompok-kelompok preman), yang bekerja sama dengan perangkat desa dalam memperkeruh kenyamanan dan keamanan warga. Tidak berhenti sampai di situ – Camat dan Polsek sangat aktif melakukan intimidasi-intimidasi terhadap warga di sana.
Akibat dari itu, telah banyak warga yang dikiriminalisasikan. Hingga saat ini tercatat telah 23 orang masuk ke dalam penjara, 2 orang meninggal dunia (1 di dalam penjara, 1 karena amukan massa), 2 orang tidak berani kembali ke desanya, dan puluhan orang disatuskan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).

Perjuangan Masyarakat
Dapat dikatakan, tiada kata yang mampu melukiskan bagaimana kegigihan perjuangan masyarakat di beberapa desa tersebut dalam mempertahankan dan mencoba kembali merebut hak-hak lahan mereka. Mulai dari perjuangan dalam bentuk sekedar mengirimkan surat sampai kepada aksi-aksi unjuk rasa. di luar itu masyarakat kerap melakukan lobby maupun negosiasi menuntut kepada perusahaan dan pemerintah untuk mengenclave lahan mereka.
Dua tahun lebih perjuangan masyarakat berjalan, yang dilakukan secara terus menerus. Perjuangan dalam bentuk aksi unjuk rasa misalnya, tercatat hingga tulisan ini dibuat, 12 kali sudah masyarakat melakukannya – baik di Kota Kayuagung (Ibu Kota Kabupaten OKI) maupun di Palembang, dengan mendatangi kantor Gubernur, DPRD Sumsel, Kanwil BPN Sumsel, Mapolda Sumsel, dan Bupati OKI. Masyarakat juga melalui perwakilan, mencoba ke Jakarta melakukan hearing dengan instansi pemerintahan terkait meminta penyelesaian kasus tanah mereka.
Perjuangan dengan menyampaikan aspirasi dalam bentuk aksi unjuk rasa tersebut, tentunya di dalam hukum dan undang-undang negara kita adalah syah dan dibenarkan. semuanya diatur secara jelas – terdapat penghormatan dan perlindungan yang wajib diberikan oleh negara terhadap rakyatnya dalam kegiatan-kegiatan aksi unjuk rasa. Namun tidaklah demikian faktanya, dalam setiap aktifitas perjuangannya masyarakat kerap ditakut-takuti oleh aparat kepolisian.
Beberapa contoh misalnya;
1. Pada saat akan mengadakan pertemuan/musyawarah, diisukan bahwa pertemuan tersebut akan dibubarkan karena merupakan perkumpulan yang illegal, dan masyarakat yang mengikutinya akan ditangkap.
2. Pada saat akan melakukan aksi unjuk rasa, di malam harinya kepolisian (kesatuan Polsek Pampangan) mendatangi masyarakat desa, dan menekan agar aksi dibatalkan.
3. Menghentikan mobil yang ditumpangi masyarakat, mempengaruhi mereka untuk membatalkan rencana kegiatan aksi unjuk rasa.
4. Mengintimidasi warga yang mengelola lahan usaha pertaniannya, yang menjadi rencana usaha perkebunan PT. PSM
5. Memanggil tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap aktif dalam perjuangan, mempengaruhi mereka agar kooperatif terhadap rencana perusahaan.
6. Mengkriminalisasi masyarakat, dengan tujuan menjadi pelajaran atau shock theraphi bagi masyarakat lainnya.
Dari persolan dan derita yang harus ditanggung oleh mereka, masyarakat tetap secara terus menerus berjuang. Banyak warga ditengah ketakutannya, tidak pernah letih menuntut hak atas lahannya. Hal yang menjadi keyakinan warga adalah bahwa apa yang mereka perjuangkan merupakan hak, dan lahan tersebut adalah sumber kehidupan dan masa depan bagi mereka.

Kondisi saat ini
Penguasaan dan pengelolaan lahan terus dilakukan oleh perusahaan. Hingga saat ini PT. PSM terus menggarap lahan masyarakat. Kesepakatan bahwa perusahaan tidak akan menggarap lahan masyarakat yang menginginkan inclave tidak pernah diindahkan oleh perusahaan.
Masyarakat yang mencoba mengelola lahan mereka dengan menanaminya, dicabuti oleh perusahaan. sepertinya perusahaan sengaja memancing kembali emosi masyarakat untuk juga melakukan hal yang serupa, seperti mencabuti tanaman kelapa sawit perusahaan. Tentunya jika itu terjadi, PT. PSM memiliki alasan untuk mengkriminalkan kembali masyarakat.
Di sisi lainnya, aparat kepolisian masih terus saja melakukan sweping yang kerap disertai dengan kekerasan dan pencurian/penyitaan harta benda milik masyarakat. Sweping tersebut sepertinya dimaksudkan untuk semakin menakuti warga desa, agar menghentikan perjuangannya, dengan tujuan memuluskan rencana usaha perusahaan. Sementara penyitaan harta benda milik warga dilakukan untuk memeras warga, dengan cara menyuruh warga mengambilnya melalui sejumlah uang tebusan.
Selin itu, aparat kepolisian dari kesatuan Polsek Pampangan yang diketahui dilapangan dikomandoi oleh Bapak Husin, sering melakukan razia dengan alasan kepemilikan Narkoba dan Sajam. Jika kedapatan warga membawa sajam (pisau/parang) mereka segera digelanggang ke kantor Polsek, yang kemudian dapat dilepaskan dengan memberikan sejumlah uang tebusan. Padahal pisau/parang tersebut bagi penduduk desa digunakan untuk keperluan bertani atau berkebun. Berdasarkan keterangan penduduk, aparat kepolisian juga kerap melakukan pungli terhadap pemilik sawmill dan mobil-mobil pengangkut kayu. Hal yang paling sederhana, yang sering dilakukan/yang sebenarnya telah menjadi tradisi masyarakat seperti mencari ikan dengan cara menyetrum dengan daya listrik yang rendah, juga dimanfaatkan sebagai ladang untuk memeras masyarakat.

Tidak ada komentar: