wanacala.blogspot.com
wnc

Senin, 07 Januari 2008

PILKADA ADALAH KEDAULATAN RAKYAT


Oleh:

Bejoe Dewangga. A.Md

Direktur Eksekutif WANACALA Sumatera Selatan


Pilkada langsung tingkat kabupaten/kota dan provinsi,khususnya provinsi Sumatera Selatan yang akan diselenggarakan pada tahun 2008 merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemilihan presiden (pilpres) yang akan di laksanakan pada tahun 2009. Dalam skala luas, kedaulatan rakyat telah dibuktikan pada pilpres tahun 2004. Sedangkan dalam skala kecil, kedaulatan itu pada terbukti pada waktu pemilihan kepala-kepala Desa, yang ada di wilayah admintrasi provinsi Sumatera Selatan gubernur.
Tujuan utama dengan dilakukannya pemilihan secara langsung, tidak lain adalah apresiasi terhadap kedaulatan itu sendiri. Rakyat dalam pemilihan memiliki hak dan kewenangan penuh untuk menentukan sikap dan pilihannya, tentang siapa yang akan mereka pilih. Di sinilah kedaulatan rakyat sangat menentukan. Rakyat bebas memilih, bebas menentukan sikap. Dalam pilkada langsung, rakyat betul-betul berdaulat.
Meskipun pilkada langsung mengapresiasi dan mencerminkan kedaulatan rakyat, namun tentu proses pelaksanaan pilkada ini selalu ada nilai lebih (plus) dan nilai kurang (minus). Hal semacam itu telah menjadi sebuah konsekuensi dalam proses demokratisasi.
Kalau dipandang dari nilai plusnya sudah jelas, hasil pilkada langsung memberikan spirit yang berarti yang kepala daerah yang terpilih. Spiritnya yakni sebagai pemimpin, harus bisa memahami, menyelami tentang aspirasi masyarakat yang tercermin dalam pemilihan. Pemimpin yakni bupati, walikota maupun gubernur hasil pemilihan, harus mampu dan bisa menyelami apa kebutuhan dan keinginan rakyat.
Sedangkan dari sisi pandang minus, hasil pemilihan yang melahirkan seorang pemimpin, terjadi miskomunikasi dengan rakyat yang telah berdaulat dan telah mengunakan hak pilihnya. Kalau sampai terjadi, maka pemimpin tersebut sama sekali tidak mengerti, tidak menyelami bahkan tidak faham aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, hal terpenting dalam pelaksanaan pilkada langsung adalah perlu dilakukannya pembelajaran kepada rakyat selaku pemegang kedaulatan. Pembelajaran di sini menyangkut bagaimana mereka menggunakan hak pilih secara baik, tidak salah memilih dan betul-betul nanti hasil dari pemilihan melahirkan seorang pemimpin bukan saja diukur dari karismatik, melainkan juga dari segi kompentensi (kemampuannya).
Selain itu Diingatkan kembali, dalam proses pilkada bisa juga melahirkan money politic para elite-elite politik yang mengharapkan sesuatu dari rakyat. Karena tidak menutup kemungkinan ketika para kandidat dengan jual isue-isue yang bersifat klise, didalam kampanyenya. Hal ini mengakibatkan rakyat lagi yang menjadi korban, dengan isue-isue kampanye yang dimainkan. Harapkan kedaulatan dalam PILKADA adalah meningkatnya tarap hidup masyarakat baik dikota maupun didesa.
Kalau ditaring dari sejarahnya PILKADA merupakan pemilihan secara langsung sudah lama dilaksanakan oleh rakyat sejak dahulu. Hal itu bisa kita lihat dengan pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades). Hampir seluruh desa di wilayah Indonesia sudah sejak lama melakukan pilkades.
Belajar dari pengalaman pilkades ini dan kemungkinan juga akan terjadi pada pilkada langsung bupati, wali kota, yakni terkait dengan sikap fanatisme pemilih. Sikap ini begitu menonjol bagi kalangan pemilih, terutama dikaitkan dengan calon yang ikut dalam pilkada tersebut.
Sikap fanatisme, terutama fanatisme yang berlebihan, akan dapat melahirkan friksi atau gesekan ketika dilakukan pilkada langsung. Gesekan itu bersifat horizontal, yakni antara seorang pemilih dengan pemilih yang lain. Karena sikap fanatisme ini pun dapat mengakibatkan terjadinya anarkis sesama pendukung calon kandidat-kandidat peserta PILKADA.
Potensi gesekan atau friksi horizontal ini cukup besar dalam pilkada langsung. Apalagi, fanatisme dibarengi dengan sikap emosional yang berlebihan. Oleh karena itu, persoalan pertama yang harus diantisipasi bersama-sama, jangan sampai potensi gesekan tumbuh subur, karena tidak akan menguntungkan dalam menjalankan proses demokratisasi.
Hal yang menjadi satu pelajaran bagi rakyat Sumatera Selatan, yang dalam hitungan detik seluruh rakyat Sumatera Selatan akan merayakan Pesta Demokrasi, sebagai mengantisipasi terjadinya sikap-sikap fanatisme terhadap dukungan yang mengakibatkan kerusuhan. Maka pengalangan-pengalangan dan pendidikan politik sudah sepatasnya di laksanakan di unsur bawah.
Hal lain yang perlu diingatkan, yakni kembali kepada proses pemilihan. Dengan sistem baru ini, maka tidak mustahil yang terpilih nanti adalah orang yang memiliki kharismatik yang cukup besar di tengah masyarakat. Lantaran karismatik itu sudah "membumi" dan berjalin baik, maka dapat saja sang tokoh terpilih dalam pilkada langsung.
Namun, persoalannya, apakah seseorang yang memiliki karisma yang tinggi memiliki potensi atau kompetensi dalam mengatur pemerintahan? Ini perlu menjadi renungan dan pemikiran bersama, sekaligus pembelajaran.
Sekiranya dalam memimpin pemerintahan, hanya mengandalkan semata-mata kharisma, bukan kompetensi, hal itu nantinya akan menyulitkan. Karena, menjalan roda pemerintahan sangat memerlukan kompetensi tersebut.
Untuk itu, dalam memilih, sangat diperlukan penilaian dari masyarakat, apakah seorang calon memiliki kompetensi atau tidak. Hal ini penting sehingga hasil pemilihan nanti selain mencerminkan aspirasi masyarakat, juga orang yang terpilih betul-betul bisa memahami aspirasi masyarakat sendiri. Hasil yang diharapkan, antara rakyat sebagai pemilih dan kepala daerah hasil pemilihan, tidak akan terjadi miskomunikasi.

Tidak ada komentar: